Para penggiat e-commerce di Indonesia sedang bergairah, jumlah transaksi jual beli online di Indonesia disebut meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Meski demikian, peningkatan ini seharusnya bisa lebih tinggi, seperti dituturkan Managing Director Mountain SEA Ventures Andy Zain.
Penetrasi e-commerce di Indonesia saat ini ternyata baru mencapai sekitar 1 persen, bandingkan dengan negara-negara berkembang lain yang sudah mencapai angka 20 persen.
“Yang terjadi di Indonesia ini sebenarnya belum apa-apanya, bahkan bisa meningkat 20 kali lipat dari yang sekarang,” demikian ujar Andy Zainsaat dijumpai KompasTekno di acara Startup Asia di Jakarta, Rabu, (26/11/2014).
Menurut Andy, Indonesia memiliki potensi transaksi e-commerce yang besar hingga 565 miliar dollar AS dalam kurun waktu hingga lima tahun ke depan.
Potensi e-commerce di Indonesia bisa mencapai 20 kali lipat ketimbang kondisi saat ini, asal “pekerjaan rumah” yang ada saat ini bisa dibereskan. Untuk menuju ke sana, dibutuhkan teknologi finansial yang memadai.
“Financial technology ini bisa menjadi pilar untuk untuk meningkatkan inovasi pembayaran, sehingga transaksi bisa lebih cepat dengan e-money,” kata Andy.
Selain itu, Indonesia saat ini masih menghadapi kendala yang menyebabkan pertumbuhan e-commerce berjalan pelan. Kendala-kendala itu pada dasarnya terbagi dalam tiga kategori, seperti infrastruktur internet, logistik, dan model pembayaran online yang masih terkotak-kotak.
Ditambahkan oleh Andy, regulasi yang diterapkan oleh pemerintah saat ini juga belum mendukung ekosistem e-commerce sehingga bisa bertumbuh lebih pesat. Sementara di sisi lain, perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce juga masih rendah.
“Kalau itu semua bisa kita sembuhkan, maka industri e-commerce kita akan lebih sehat, potensinya bisa 20 kali lipat dari yang sekarang,” demikian kata Andy.
Harapan baru
Andy juga mengatakan, dengan pemerintahan yang baru, dunia e-commerce di Indonesia diyakininya bisa berkembang dan dioptimalkan lagi.
Harapan Andy tersebut didasarkan pada banyaknya inisiatif yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui kebijakan-kebijakannya yang mengandalkan teknologi e-payment, seperti penyaluran Bantuan Tunai Langsung (BTL) yang disalurkan melalui ponsel.
“Kita sekarang memiliki Menkominfo yang berasal dari industri, selain itu Presiden Jokowi juga telah berinisiatif menggunakan kartu SIM untuk menyalurkan bantuan tunai,” kata Andy.
“Kalau satu keluarga miskin memiliki uang digital Rp 200.000 per bulan, bayangkan impact-nya bagi industri e-commerce, ini bisa menggerakkan ekonomi baru,” imbuh Andy.
Momen inilah yang menurut Andy harus dimanfaatkan sebaik-baiknya sehingga bisa memacu perputaran uang digital yang lebih tinggi lagi dan menumbuhkan industri e-commerce di Indonesia.
Namun, metode pembayaran dengan menggunakan rekening seluler itu disebut Andy juga belum sempurna di Indonesia, karena terkesan masih terkotak-kotak dan belum ada satu format yang bisa mencakup smeuanya.
“Sekarang pelaku industri telko punya e-wallet sendiri-sendiri, ini juga bisa menyusahkan masyarakat,” katanya.
Model e-payment milik operator seluler di Indonesia saat ini juga disebut Andy masih menganut sistem tertutup. “Karena itu dibutuhkan true digital dan mobile payment, agar mempermudah pembayaran,” tegasnya.
Dengan model pembayaran yang menyatu, maka hal tersebut juga bisa mempermudah industri untuk ikut bergabung, sehingga makin banyak yang menggunakan e-payment dan tercipta ekosistem e-commerce yang lebih kuat lagi.
Sumber: Kompas, 26 November 2014